9.27.2009

Mengupas Pittsburgh, 24-25 Sept 2009

MENGUPAS PITTSBURGH, 24-25 SEPTEMBER 2009
By. Adi Vibriyanto/0810212001
Dipenghujung pekan kemarin, pemimpin dari Negara-negara yang konon menguasai 90 persen perkonomian global bertemu lagi dalam kerangka yang mereka sebut G-20, semangat yang diusung tentu saja membawa dunia pada kemakmuran bersama dengan jalan kerjasama dan saling bantu antar Negara. Lepas dari kontroversi atas penyelenggaraanya yang dianggap agenda dari pendukung kapitalisme sesungguhnya banyak hal positif yang menurut penulis bisa dipetik, sebuah kerja bersama seperti ini tentu lebih membawa impact daripada kerja sendiri-sendiri atau kerja segelintir kelompok seperti dulu dalam wadah G-7 atau G-8 yang mungkin hanya mengedepankan kepentingan Negara-negara maju, apalagi G-20 mempunyai komposisi yang lebih adil antara Negara maju dan Negara berkembang.
KTT selama dua hari di bagian timur kota Pittsburgh Amerika Serikat, menghasilkan beberapa poin kesepakatan yang menurut penulis bisa membawa angin segar bagi perekonomian dunia yang tengah lesu akibat terpaan angin krisis pada tahun sebelumnya, diantaranya :
• Negara-negara berkembang akan menerima atau menanggung sedikitnya lima persen dari hak suara pada Dana Moneter Internasional (IMF).
poin ini tentu memberikan peluang bagi Negara berkembang untuk mempunyai peran yang lebih strategis dalam menentukan arah kebijakan perekonomian dunia yang pada giliranya akan membuat dunia lebih stabil karena adanya rasa keadilan.
• G-20 akan berkoordinasi untuk menemukan waktu yang tepat untuk mengurangi langkah-langkah stimulus sebagai bagian dari upaya untuk "mengembalikan pertumbuhan dunia menjadi tinggi, berkelanjutan dan seimbang." Efek dari krisis global pada tahun 2008 merupakan hal yang patut diwaspadai, walaupun saat ini optimisme akan segera pulihnya perekonomian makin membuncah tetap perlu diambil langkah-langkah yang bisa memastikan bahwa kondisi perekonomian dunia akan segera pulih, terutama diperlukan regulasi yang kuat untuk memagari perilaku rakus para spekulan ekonomi dunia, saat ini sesungguhnya merupakan momentum yang tepat bagi tiap Negara untuk melakukan reformasi di bidang keuangan, Negara besar seperti Amerika Serikat sebenarnya harus memanfaatkan momentum ini untuk membuat pagar yang kokoh bagiperekonomian mereka sebelum para spekulan ekonomi kembali mendapatkan zona yang nyaman dalam perekonomian.
• Kompensasi "berlebihan" bagi para eksekutif di sektor perbankan akan diakhiri karena mendorong risiko. G20 menentang jaminan bonus multi-tahun, mendesak transparansi yang lebih besar. Semangat ini sangat layak didukung seiring dengan perilaku para pelaku sektor keuangan seperti perbankan, asuransi, dll yang cenderung mengabaikan prinsip-prinsip pengelolaan keuangan yang akuntabel demi mendapatkan bonus berlimpah di akhir tahun, sehingga sangat tepat apabila Negara turut campur dalam hal ini mengingat apa yang mereka lakukan membawa dampak bagi hampir semua umat manusia di bumi.
• G20 akan membuat pentahapan peraturan baru untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas modal bank, yang dipandang sebagai kekurangan utama dalam krisis ekonomi global. Perbankan merupakan pilar penting dalam perekonomian, ibarat manusia perbankan adalah jantung yang bertugas mensirkulasikan darah. Sayangnya akhir-akhir ini banyak bank yang kolaps karena kualitas dan kuantitas modalnya yang sangat memprihatinkan, banyak bank yang dibentuk hanya bertujuan untuk mempermudah kelompok sang banker mendapatkan akses modal, atau juga banyak bank yang mengabaikan kualitas kredit yang mereka salurkan seperti yang terjadi di AS dalam kasus subprime mortgage.
• Pemerintah harus menghilangkan bebas pajak (tax havens) pada Maret 2010 atau menghadapi konsekuensi dari dunia internasional. Belakangan ini memang marak daftar Negara-negara yang memberlakukan tax heaven, hal ini tentu sangat mencederai rasa keadilan diantara Negara-negara di dunia. Prinsip-prinsip kompetisi yang sehat antar Negara diabaikan disini, kalau hal ini dibiarkan tentu bukan kemamuran bersama yang akan didapat tapi justru kehancuran bersama yang akan menanti.
• G20 akan memulai sistem pengkajian yang tajam di mana para ekonom di masing-masing negara anggota dapat memberikan saran kebijakan kepada orang lain. Barang tentu ini merupakan kewajiban bagi seluruh warga dunia apalagi yang mempunyai keluasan ilmu di bidang ekonomi untuk selalu berkontribusi bagi kamajuan ekonomi dunia.
Semoga angin perubahan makin kencang berhembus dari Pittsburgh, sudah semestinya bahwa Negara adalah regulator sehingga tidak ada satu hal pun yang anti dari sentuhan regulasi Negara sepanjang itu membawa manfaat bagi sebagian besar umat, seperti diutarakan Keynes bahwa perekonomian tidak bisa diserahkan begitu saja pada mekanisme pasar. Hingga batas tertentu peran pemerintah justru diperlukan.

[+/-] Selengkapnya...

9.23.2009

PESIMISME APBN KITA

APBN bukan sekedar deretan angka yang tanpa makna, sen per sen rupiah yang tercantum dalam APBN bisa jadi merupakan penentu arah perjalanan perekonomian Negara ini paling tidak dalam satu tahun kedepan, tepat menjelang Hari Raya Idul Fitri 1430 H, Panitia Kerja DPR telah menyetujui RUU APBN 2010, secara garis besar postur APBN 2010 adalah sebagai berikut, belanja negara dalam ditetapkan sebesar Rp1.047,6 triliun, deficit 1,6% dari PDB. Terdiri atas Belanja Pemerintah Pusat sebesar Rp725, 2 miliar dan transfer ke daerah sebesar Rp322,4 miliar. Jumlah ini meningkat sebanyak Rp. 44,67 triliun dibandingkan dengan APBN pada tahun 2009. Rinciannya menurut jenis belanja, belanja Pemerintah Pusat terdiri atas Belanja Pegawai sebesar Rp. 160.312,8 miliar, Belanja Barang Rp 102.959,3 miliar, Belanja Modal Rp 83.243,9 miliar, Pembayaran Bunga Utang Rp 115.594,6 miliar.Kemudian, Subsidi non Energi sebesar Rp 51.293,6 miliar, Belanja Hibah Rp 7.092,0 miliar, Bantuan Sosial Rp 69.582,4 miliar dan Belanja Lain-lain Rp 28.637,8 miliar, berdasarkan organisasi, belanja Pemerintah pusat terdiri atas Belanja Non Kementerian Negara/Lembaga (Non-K/L) sebesar Rp385.093,9 miliar dan Belanja Kementerian Negara/Lembaga (Non-K/L) sebesar Rp340.149,2 miliar serta anggaran Pendidikan sebesar Rp209.537,5 miliar.
Selain rincian belanja diatas, dalam APBN kali ini pemerintah masih diberikan space sebesar 24 Triliun atau 2 persen dari APBN ini, untuk mengantisipasi adanya program/kegiatan yang belum tertampung dalam APBN ini, hal yang cukup bijaksana mengingat perencana dan eksekutor dari APBN ini secara de jure adalah pemerintahan yang berbeda meskipun pada kenyataanya kepala pemerintahan masih di jabat oleh orang yang sama.
RUU APBN ini sejatinya disusun dengan semangat untuk mengantarkan bangsa ini melewati masa transisi dari badai krisis keuangan hebat yang terjadi pada tahun sebelumnya, dengan asumsi pertumbuhan perekonomian sebesar 5%, inflasi 5%, dengan nilai tukar rupiah Rp 10.000 dan suku bunga SBI 3 bulan 6,5%, harga minyak mentah sebesar US$ 60 per barel dengan produksi minyak mentah diperkirakan sebesar 965 ribu barel per hari.
Asumsi-asumsi diatas mungkin cocok untuk melewati masa transisi, akan tetapi melihat perkembangan saat ini menjadi terlalu konservatif, krisis keuangan global saat ini menunjukkan perkembangan yang cukup menggembirakan dan diperkirakan akan segera mereda serangannya, indikator-indikator ekonomi baik di Indonesia maupun dunia menunjukkan gejala yang makin membaik, kontraksi ekonomi AS pada triwulan kedua yang lalu hanya sekitar 1 persen dibanding 6,5 persen pada triwulan sebelumnya, angka pengangguran pada bulan Juli pun turun dari bulan sebelumnya, sementara nilai ekspor dari Jerman tumbuh sebesar 7 persen, sementara indicator ekonomi Indonesia pun menunjukkan perkembangan menggembirakan, ekspor bulan Juni naik 1,32 persen dibandingkan bulan Mei, konsumsi semen yang bisa menunjukkan adanya pembangunan juga terus tumbuh dalam empat bulan terakhir, belum lagi konsumsi atas kendaraan bermotor yang terus mengalami peningkatan, bisa jadi pertumbuhan ekonomi 5% agak kurang relevan lagi mengingat optimisme yang mulai menjalar, nilai tukar rupiah saat ini yang terus berada di bawah 10.000/$ juga menggambarkan asumsi nilai tukar yang kurang releva, sementara target produksi minyak yang hanya 965 ribu barel/hari juga patut dipertanyakan mengingat produksi blok cepu tahun ini diperkirakan akan mengalami peningkatan, sementara deficit APBN yang hanya 1,6% dari PDB juga dirasakan kurang untuk menggenjot pemulihan ekonomi,
Mudah-mudahan semua pemangku kekuasaan bisa melihat keadaan dengan lebih objektif dan membuat target yang lebih terukur untuk pemerintahan yang akan datang, semua demi bangsa ini!!

[+/-] Selengkapnya...

9.14.2009

GEMERLAP DI DAERAH UDIK

Kurang dari satu minggu menjelang lebaran, geliat mudikers mulai terasa. Tahun ini jumlah pemudik diperkirakan akan mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya, mudik sendiri merupakan fenomena khas negeri kita karena walaupun banyak Negara dengan mayoritas penduduk muslim tetapi hanya di Indonesia aktifitas mudik menjadi ritual yang seakan-akan wajib dilakukan sehingga banyak yang rela memilih berdiam diri di dalam toilet kereta api sehari semalam daripada berdiam diri dimasjid untuk meningkatkan ibadahnya di sepertiga terakhir bulan Ramadhan. Kota-kota besar mendadak menjadi begitu lengang dan mungkin sangat nyaman untuk di diami dibanding hari biasa.

Seandainya hal ini bersifat permanen mungkin berbagai problem sosial maupun ekonomi di kota besar dan juga di perdesaan tidak begitu rumit seperti saat ini. Namun sayangnya setelah libur lebaran usai maka persoalan rutin perkotaan dan perdesaan akan muncul kembali. Kesenjangan antara perkotaan dan perdesaan telah berlangsung lama dan disparitasnya makin parah. Sesuatu yang bisa diterima akal mengingat lezatnya kue pembangunan di perkotaan dibandingkan di pedesaan sehingga orang berbondong-bondong untuk bekerja di kota.
Kalau kita cermati sebenarnya mudik berpotensi membawa efek multiplier bagi perekonomian khususnya ekonomi di pedesaan, karena hampir bisa dipastikan setiap pemudik akan membawa hasil jerih payahnya selama bekerja dikota, entah itu akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya selama di desa atau akan diberikan kepada kerabatnya di desa sehingga surplus di perkotaan sedikit banyak bisa dikembalikan ke daerah udik.
Sebagai asumsi, jika diperkirakan jumlah pemudik tahun ini sekitar 16,25 juta jiwa (detiknews,25/08/09) dan masing-masing membawa uang antara 1 juta sampai dengan 2 juta rupiah maka jumlah surplus perkotaan yang bisa dibawa kembali ke desa mencapai 16 sampai 32 Triliun rupiah, belum lagi jika ditambah dengan kiriman uang dari para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang jumlahnya selalu melonjak menjelang lebaran seperti sekarang. Di Jawa Barat, misalnya, kiriman uang selama bulan Ramadhan diperkirakan mencapai 400 Miliar Rupiah, jumlah tersebut naik dua kali lipat dari kondisi normal pada bulan-bulan diluar Ramadhan sekitar Rp. 200 Miliar per bulan. Sementara di daerah Malang selatan yang merupakan sentra TKI di Jawa Timur jumlah kiriman uang yang melalui Kantor Pos Besar Malang selama bulan Ramadhan rata-rata Rp. 1,3 Miliar per hari, bahkan pada hari-hari menjelang lebaran seperti saat ini diperkirakan mencapai Rp. 2 Miliar per hari, meningkat 100% sampai dengan 300% dibandingkan hari-hari bisaa yang rata-rata hanya Rp. 500 juta.
Multiplier Effect
Besarnya aliran dana ke daerah pedesaan tersebut harapanya tentu bisa membawa multiplier effect/efek memancar secara otomatis bagi perekonomian di pedesaan mengingat selama ini sektor-sektor yang menjadi tulang punggung ekonomi pedesaan masih dianggap sebelah mata oleh mainstream kebijakan ekonomi kita, bayangkan untuk kasus bank century yang hanya memiliki 65.000 nasabah Negara bisa dengan enteng menggelontorkan dana hingga 6,7 triliun, sementara untuk kasus kelangkaan pupuk yang menguasai hajat hidup jutaan petani kita Negara seakan-akan tuli.
Manfaat bagi perekonomian lokal akan terasa apabila uang yang di bawa oleh para mudikers dimanfaatkan untuk hal-hal yang produktif, misalnya, sebagai tambahan modal usaha, membangun rumah, atau dimanfaatkan untuk membeli asset yang produktif seperti ternak. Sebaliknya jika uang-uang tersebut hanya digunakan untuk hal-hal yang sifatnya konsumtif maka harapan akan terjadinya peningkatan ekonomi lokal yang sustainable hanya kan menjadi angan-angan, Surplus ekonomi perkotaan yang dibawa pun hanya akan hinggap sejenak di pedesaan sebelum akhirnya kembali ke perkotaan melalui kegiatan konsumtif yang hanya memenuhi nafsu materialistis seperti membeli handphone baru, televisi baru, ataupun sekedar membeli pulsa handphone yang notabene merupakan domain masyarakat perkotaan bahkan luar negeri.
Semoga para mudikers bisa lebih bijak dalam memanfaatkan uangnya supaya ada sesuatu yang lebih baik di desa mereka ketika kembali mudik tahun depan. Sementara kewajiban pemerintah tentu saja mengupayakan pemberdayaan ekonomi di pedesaan untuk menimbun jurang perbedaan antara desa dan kota.
HAPPY IED 1430H
MINAL AIDIN WALFAIZIN…MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN

[+/-] Selengkapnya...

6.02.2009

Sacred City


Minggu lalu, mungkin sangat mengejutkan bagi warga Tuban dimanapun berada. Bagaimana tidak ditengah miskinya prestasi yang diraih kota ini kita malah disodori sebuah kabar bahwa warga Tuban dianggap menghambat kepentingan nasional. warga dan pemerintah Kab. Tuban dituding menghambat proyek pipanisasi minyak yang merupakan elemen penting bagi tercapainya target produksi minyak nasional, belakangan diketahui bahwa yang sebenarnya paling menghambat bukan warga tetapi cuma Pemkab khususon seng mbau rekso di Pemkab Tuban, selain masalah ini sebenarnya masih banyak kasus-kasus yang menjadi promosi gratis yang sangat merugikan bagi daya saing Kab. Tuban, kita ingat kerusuhan akibat pilkada, kasus terganjalnya perpanjangan izin tambang PT. SG, kurangnya transparansi dari penyelenggara negara (web ae ga pernah update)sampai konon sulitnya perijinan di Kab. Tuban,dll...wah tambah ruwet cah daerahku iki Kab. Tuban menjadi sangat angker bagi investor.

Semangat otonomi daerah sebenarnya adalah meningkatkan efisiensi karena dengan otoda akuntabilitas pembangunan kemungkinan bisa ditingkatkan, local revenue bisa ditingkatkan, partisipasi masyarakat juga bisa ditingkatkan. jadi otoda bukan justru menciptakan raja-raja kecil yang seolah-olah tidak mau tau dengan kepentingan lain yang juga menguasai hajat hidup banyak orang. Perlu disadari dengan otoda daerah lain memang kompetitor tapi juga bisa menjadi partner dalam pembangunan karena lingkup satu kabupaten mungkin terlalu kecil.
Semoga banyaknya maslah bisa menjadikan Kab. Tuban makin tanggap dan bisa mengambil peluang dari otonomi daerah. Amin.....

[+/-] Selengkapnya...

2.24.2009

Piye Ngene iKi??


Dulurs....piye ngene iki? Hasil survei Transparansi Internasional Indonesia menunjukkan lembaga Majelis Ulama Indonesia juga tak luput dari suap. Hasil survei, 10 persen masyarakat menilai suap terjadi saat mengurus sertifikasi halal. Gimana mbah yai?Naudzubillah min dzalik.....semoga itu hanya ceracauan seorang pemabuk!sungguh miris apabila forum terhormat para ulama yang mungkin dianggap benteng moral bangsa Indonesia juga terjangkit virus ganas yang merusak otak sebagian besar warga negara. Ulama jangan sampai kalah dengan virus itu...ayo bangkit lawan KORUPSI!!!!!

[+/-] Selengkapnya...

11.02.2008

Mending Berubah!!

LET’S CHANGE TOGETHER
Telah nyata dihadapan kita kekacauan kondisi keuangan dunia nyaris menjerumuskan sebagian besar bangsa di dunia ke jurang kehancuran ekonomi, keputusan sebagian besar negara di dunia untuk berkiblat kepada sistem ekonomi pasar bebas (liberalis) tidak bisa dipungkiri menjadi penyebabnya. Kebebasan kepemilikan harta, kebebasan pengelolaan harta, dan kebebasan konsumsi atas apapun sangatlah tidak layak kalau kita lihat dari sisi moral maupun sisi spiritual yang pada dasarnya dimiliki setiap manusia., nah saat ini tentu sudah menjadi keniscayaan bagi semua elemen dunia untuk sadar dan mulai berhijrah ke arah sistem keuangan yang lebih komprehensif, tinggalkan mainstream sistem ekonomi kapitalis!!

tidak sekedar keadilan prosedural yang dibutuhkan untuk membangun suatu perekonomian yang sehat yang bisa mensejahterakan seluruh bagian yang ada di dalamnya, tapi diperlukan pula apa yang disebut dengan keadilan sosial seperti yang diungkapkan oleh Rawls. Ekonomi tanpa regulasi yang dijadikan wadah bagi setiap individu pelaku ekonomi untuk melakukan usaha terbaik bagi kepentingan individu itu sendiri sebebas-bebasnya justru menjadi sumber dari ketidakadilan itu sendiri, perilaku manusia sebagai mahluk multifaset (A. Erani Yustika) lupa atau sengaja ditinggalkan oleh kaum liberalis.
Insiden perekonomian yang terjadi belakangan ini seharusnya membuat semua sadar bahwa faktor kelembagaan tidak boleh ditinggalkan karena hal ini merupakan bagian dari realitas sosial yang hidup dalam masyarakat , sebuah desain kelembagaan (rules of the game) yang baik sangat diperlukan untuk menjadi rambu-rambu dalam berkegiatan. Kelembagaan yang baik paling tidak dicirikan oleh tiga hal, yaiut : pertama pemeksaan terhadap hak kepemilikan (enforcemenet of property right), kedua membatasi tindakan individu, elite, politisi, maupun kelompok kepentingan untuk memperoleh keuntungan ekonomi tanpa prosedur yang benar, ketiga memberi kesempatan yang sama ((equal opportunity) bagi semua individu untuk mengerjakan aktivitas ekonomi (Acemoglu, 2003:27). Usaha untuk mencapai desain kelembagaan yang baik harus terus dilakukan supaya masalah-masalah ketidaksempurnaan yang ada bisa teratasi. Tak terbayangkan bukan apabila transaksi derivatif senilai ribuan triliun dibiarkan bebas tanpa aturan?? Entah siapa yang berwenang tampaknya harus segera memulai menyusun rules of the game bagi terciptanya sebuah kebebasan yang bertanggungjawab. Kesempurnaan hanya milik Allah SWT, semoga semua elemen dunia diberikan petunjuk bagi terciptanya sebuah kelembagaan yang memberikan keadilan sosial bagi seluruh warganya. Amin........

[+/-] Selengkapnya...

7.16.2008

Fight Againts Corruption!!

Kampanye Jihad Melawan Korupsi
Kamis, 17 Juli 2008
Oleh: DR. Hj. Masyitoh, M.Ag

Masih segar dalam ingatan kita, bagaimana seorang anggota komisi yudisial (KY) tertangkap tangan oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada September tahun lalu karena menerima uang Rp 600 juta dan 30 ribu dolar AS dalam pengadaan lahan untuk gedung KY. Belum lama berselang, 2 Maret lalu seorang jaksa juga tertangkap tangan oleh KPK dalam kasus suap dana Bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebesar 660 ribu dolar AS. Disusul kemudian anggota DPR RI yang juga tertangkap tangan di sebuah hotel di Jakarta Selatan, 9 April dini hari, terkait penyuapan alih fungsi hutan lindung di Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau. Peristiwa terbaru adalah ditahannya Gubernur Bank Indonesia yang dianggap terlibat kasus mengalirnya dana dari BI ke sejumlah anggota DPR RI. Belum lama ini juga, kasus ilegal logging yang sangat merusak keseimbangan alam di Kabupaten Ketapang, kalimantan Barat yang melibatkan banyak oknum, termasuk Kapolda Kalbar (yang berakhir dengan pencopotannya sebagai kapolda), 17 April lalu, menambah deretan panjang kasus korupsi dan suap yang melibatkan para pejabat dan petinggi negara ini.

Berbagai bentuk korupsi dan penyimpangan tersebut tentu mencoreng muka Pemerintahan Indonesia dan muka kita sebagai bangsa yang sedang gigih melawan korupsi dan penyimpangan keuangan negara. Ironis memang, di negara kita yang mayoritas muslim, justru banyak terjadi korupsi yang tentu bertentangan dengan ajaran agama. Tidak ada hal yang paling ironi di negeri yang mayoritas muslim ini selain kenyataan bahwa, korupsi begitu marak di berbagai lini kehidupan. Berbagai survey yang dilakukan lembaga, seperti Global corruption Index atau Transparancy International Index, dan lemabaga-lembaga sejenis dalam negeri, dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan indonesia termasuk rangking papan atas dalam peringkat korupsinya. Bahkan, tindak pidana korupsi tidak lagi tersentral di pusat kekuasaan di Jakarta, tetapi menyebar ke seluruh daerah, menjadi penumpang gelap dalam era otonomi dan desentralisasi.

Hampir pasti, sebagian besar koruptor itu menganut agama Islam. Mengapa tingkat korupsi di Indonesia begitu tinggi, padahal agama Islam yang dianut oleh mayoritas penduduk sangat membenci korupsi dan memberikan ancaman sanksi yang keras terhadap para koruptor?

Bukan Persoalan Agama

Persoalan korupsi dan tindak pidana umum lainnya sebenarnya tidak terkait dengan nama sebuah agama. Di negara yang mayoritas Muslim, seperti Pakistan, Bangladesh, dan Nigeria, yang korupsinya cukup tinggi, bisa dipastikan para koruptornya kebanyakan beragama Islam. Begitu juga dengan negara mayoritas Kristiani, seperti Argentina, Meksiko, Philipina, atau Colombia yang indeks korupsinya di atas tujuh, mayoritas pelakunya juga dari kalangan Kristiani. Bahkan Thailand yang mayoritas penduduknya Budha, indeks korupsinya juga hampir mencapai delapan. Sementara itu, ada negara lain, yang juga mayoritas Muslim seperti Iran, Arab Saudi, Syria atau Malaysia, angka korupsinya jauh lebih rendah dibanding Indonesia atau Pakistan. Juga ada negara mayoritas Kristiani seperti AS, Kanada, atau Inggris dengan indeks korupsi di bawah dua.

Gambaran kasar ini memberi indikasi, tinggi atau rendahnya korupsi tidak banyak berkait dengan agama, tetapi lebih terkait dengan mentalitas pelaku, manajemen pemerintahan, dan penegakan hukum. Agama apapun, termasuk Islam, jelas tidak membenarkan umatnya melakukan tindak korupsi dan tindak kejahatan lainnya. Islam mengutuk keras tindakan korupsi dalam bentuk apap pun. Rasulullah Saw bersabda ”la’natullah ’ala al-raasyi wa al-murtasyi.” (HR. Bukhari-Muslim). Para ulama kontemporer menyepakati, risywah (bribery) tidak hanya berarti korupsi konvensional, seperti penyuapan, tetapi juga mencakup bentuk korupsi lainnya yang lebih canggih, seperti illegal logging, mark up, manipulasi dan sebagainya.

Dalam konteks ajaran islam yang lebih luas, korupsi merupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip keadilan (al-’adalah), akuntabilitas (al-amanah), dan tanggung jawab (mas’uliyah). Korupsi dengan segala dampak negatifnya yang menimbulkan berbagai distorsi terhadap kehidupan negara dan masyarakat dapat dikategorikan termasuk perbuatan fasad, kerusakan di muka bumi, yang juga amat dikutuk Allah Swt.

Akan tetapi, tingkat penghayatan dan pengamalan agama setiap orang berbeda-beda. Pada satu segi, semangat keberagamaan terlihat meningkat di Indonesia dalam dua dasawarsa terakhir, tetapi pada saat yang sama berbagai bentuk korupsi dan penyakit –penyakit sosial lainnya juga semakin mewabah. Lemahnya penegakan hukum, populernya gaya hidup hedonistis, tidak adanya political will dan keteladanan dari pejabat-pejabat publik untuk memberantas korupsi, membuat korupsi kian merajalela, karena memang, korupsi juga sudah membudaya di kalangan masyarakat Indonesia. Korupsi sudah berurat dan berakar dan menjadi mental sebagian besar penduduk bangsa ini. Karena itu, sekali lagi, dengan berbagai faktor yang mengakibatkan mewabahnya korupsi dan penyimpangan-penyimpangan lain, tidak adil bila secara simplistis mengkambinghitamkan agama.

Kampanye Jihad

Pemberntasan korupsi bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga masyarakat secara luas. Lembaga-lembaga sosial seperti ormas keagamaan, LSM, perguruan tinggi dan sebagainya, sudah saatnya memainkan peran sebagai civil society dan pressure groups yang memiliki agenda turut berpartisipasi dalam pemberantasan korupsi dan penciptaan good governance.

Sudah waktunya bagi lembaga-lembaga dan organisasi sosial keagamaan menyatakan perang secara lebih konsisten, tegas, dan terarah terhadap korupsi. Jika perlu, lembaga-lembaga keagamaan dapat mengeluarkan ”fatwa” tentang wajibnya melakukan jihad melawan korupsi. Inilah jihad yang relevan dan kontekstual untuk Indonesia masa kini dan masa yang akan datang.

Melalui fatwa jihad melawan korupsi yang dikeluarkan secara serempak oleh para ulama di berbagai ormas keagamaan, seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Persis dan lain-lain, perang melawan korupsi tidak hanya memiliki pijakan yuridis, politis, dan sosiologis, tetapi juga memiliki dasar telogis yang kuat. Sebab, dalam ajaran Islam jihad memiliki makna yang cukup dalam. Ajaran ini tidak hanya ditegaskan dalam berbagai hadits Rasulullah Saw tetapi juga mendapat tempat yang cukup luas dalam Al-Qur’an. Islam memandang, aktivitas jihad sebagai kewajiban asasi bagi setiap muslim, dan karenanya setiap warga negara yang baeragama Islam berkewajiban berpartisipasi dalam jihad memerangi korupsi.

Oleh karena itu, untuk meningkatkan partisipasi masyarakat perlu dilakukan kampanye besar-besaran tentang jihad melawan korupsi itu. Kampanye ini tidak hanya melibatkan ormas keagamaan, tetapi juga perlu melibatkan pemerintah, LSM, media massa dan para tokoh masyarakat. Mereka perlu menabuh gendang perang melawan korupsi.

Tindak pidana korupsi juga perlu disejajarkan dengan tindak pidana terorisme, karena dampak yang ditimbulkan amat destruktif bagi segi kehidupan sebagaimana halnya terorisme. Dampak kerusakan terorisme hanya terjadi di lokasi dan sekitarnya tempat aktivitas terorisme dilakukan, tetapi dampak korupsi akan merugikan seluruh elemen masyarakat dan berbagai sendi kehidupan.

Terorisme mungkin menimbulkan rasa takut masyarakat, akan tetapi, korupsi sesungguhnya lebih jauh daripada itu, apalagi jika korupsi itu berskala besar. Korupsi yang menjarah harta negara berdampak sangat luas dalam kehidupan masyarakat. Dana yang dikorup itu semestinya bisa didistribusikan untuk mengentaskan kemiskinan, membuat sekolah gratis bagi kaum papa, menyediakan fasilitas kesehatan bagi mereka yang tidak berpunya, menyediakan lapangan pekerjaan bagi para pengangguran, mengangkat nasib anak-anak terlantar dan anak jalanan, memberikan jaminan sosial bagi kalangan fakir dan miskin, memberikan proteksi bagi para petani miskin dari permainan harga para tengkulak dan sebagainya. Karena dana itu dikorup, maka program pengentasan kemiskinan bisa tertunda dan bahkan gagal direalisasikan. Akibat yang ditimbulkan cukup luas dalam kehidupan masayarakat.

Dengan demikian, dampak kejahatan korupsi tidak kalah dahsyatnya dengan terorisme. Oleh karena itu, para koruptor juga harus disamakan dengan para teroris yang harus diperangi dan dijerat dengan hukuman yang tegas dan sangat keras. Kalau para teroris dijatuhi hukuman mati, sudah saatnya para koruptor kelas kakap juga divonis dengan hukuman yang sama. Hukuman yang keras dan tegas ini diperlukan agar memiliki aspek edukatif bagi mereka yang akan melakukan tindakan serupa. Tanpa hukuman yang keras, korupsi akan terus mewabah ke berbagai sendi kehidupan bangsa dengan eskalasi yang semakin luas. Wallaahu a’lam bisshawab. (zar)
Sumber: Suara Muhammadiyah No. 12/Th Ke-93

[+/-] Selengkapnya...

Template by : kendhin x-template.blogspot.com